Manajemen Sumber Daya Manusia di Daerah Otonom
Kabupaten dan kota berada pada kondisi ‘gamang’ ketika otonomi daerah akan diterapkan. Kegamangan ini disebabkan oleh implikasi yang ditimbulkan otonomi daerah. Penyerahan urusan kepada daerah berakibat pada diserahkannya Kantor Departemen (Kandep) yang ada di daerah tersebut kepada daerah otonom karena urusan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab pusat telah diserahkan dan menjadi tanggung jawab daerah. Wujudnya adalah perubahan Kandep menjadi dinas yang berfungsi sebagai unit pelaksana teknis yang berada di bawah kabupaten dan kota. Perubahan status tersebut disertai dengan perubahan pemilikan atas inventaris barang yang secara bertahap diserahkan pada daerah. Demikian pula dengan pegawai negeri eks instansi vertikal yang berada di daerah akan dialihkan dan secara berangsur-angsur menjadi pegawai daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1995 tentang Proyek Percontohan Otonomi Daerah yang senada dengan Undang-Undang no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah , ada 19 urusan yang diserahkan kepada daerah. Revisi oleh Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyerahkan 16 urusan untuk dikelola oleh daerah ditambah dengan urusan yang bersifat concurrent . Banyaknya jumlah urusan yang diserahkan berakibat pada banyaknya pengalihan kandep menjadi dinas termasuk banyaknya pengalihan pegawai negeri yang bernaung di bawah eks Kandep. Contoh nyata adalah yang terjadi di kabupaten Kudus dimana terjadi peningkatan jumlah pegawai yang sangat besar. Sebelum otonomi daerah jumlah pegawai adalah 1.184 orang dan sesudah otonomi menjadi 8.875 orang . Hal ini apabila tidak dikelola dengan baik maka menjadi beban pembiayaan gaji pegawai bagi daerah otonom. Beban inilah yang kemudian menciptakan kegamangan bagi Kabupaten maupun Kota.
Implementasi otonomi di daerah memberikan kemandirian untuk pengelolaan pegawai di daerah. Meskipun terjadi pengalihan secara bertahap terhadap pegawai eks Kandep, pemerintah pusat tidak serta merta melepaskan tanggung jawabnya untuk memberikan gaji bagi pegawai tersebut. Pemerintah pusat tetap memberikan alokasi gaji bagi pegawai yang ada di daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) . Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mengelola dan mendistribusikan kepada pegawai negeri sipil yang ada di daerah melalui Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Namun dari sisi lain, Pemerintah Daerah memiliki ketergantungan terhadap pemerintah pusat terhadap gaji pegawainya. Terlebih lagi apabila jumlah pegawai negeri sipil yang ada di daerah tersebut besar maka akan mempengaruhi jumlah DAU. Perubahan jumlah pegawai yang fluktuatif cenderung dihindari kalau perlu justru meningkatkan jumlah pegawai karena memperbesar DAU.
Kapasitas Sumber Daya Manusia di Pemerintah Daerah
Kemandirian membuka peluang daerah untuk memiliki sumber daya manusia yang benar-benar dibutuhkan. Peran Kepala Daerah sangat penting dalam memberikan visi yang berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia. Visi tersebut didasarkan pada kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat dan pemahaman tentang kualitas aparatur menjadi kunci utama. Kepekaan terhadap kebutuhan menjadi dasar bagi program kerja yang diusung menjadi janji saat kampanye dan disusun menjadi Kebijakan Umum setelah terpilih menjadi kepala daerah. Pemahaman terhadap kualitas aparatur merupakan tahapan yang secara simultan dilaksanakan dalam proses penyusunan Kebijakan Umum.
Kepala daerah harus memiliki aparatur yang mampu untuk menguraikan janji-janji saat kampanye menjadi program-program kerja. Need assesment diperlukan untuk mengetahui tingkat kebutuhan pegawai daerah. Jika daerah memiliki pegawai dengan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut ada maka kepala daerah tidak perlu untuk melakukan penambahan pegawai baru. Namun bila tidak ada, maka hal ini dapat dijadikan dasar bagi BKD untuk membuka penerimaan pegawai baru dengan ketrampilan tertentu.
BKD sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pegawai di daerahnya harus mengubah citra yang dimiliki. Citra BKD sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan seleksi dan penerimaan pegawai harus diubah. Peran yang dimiliki BKD harus diperluas dan diberdayakan menjadi lembaga yang secara komprehensif melakukan pengelolaan pegawai. Ini adalah tantangan bagi BKD untuk lebih mengambil peran dalam MSDM di daerah.
Langkah yang harus dilakukan BKD adalah dimilikinya pangkalan data pegawai, termasuk pangkalan pegawai yang berasal dari pengalihan akibat otonomi Daerah. Pemerintah daerah harus mampu memanfaatkan pegawai eks instansi vertikal dengan baik. Pegawai tersebut memiliki keahlian dan pengalaman mengelola urusan yang selama ini tidak menjadi tanggung jawab daerah sehingga kemampuan mereka sangat diperlukan oleh daerah.
Oleh karena itu pangkalan data pegawai yang dibangun harus dapat memberikan informasi tentang pegawai yang dibutuhkan secara terinci. Khusus pegawai eks instansi vertikal, pemerintah daerah dapat meminta data dari departemen yang bersangkutan sehingga semua data mutakhir pegawai dimiliki oleh BKD.
Salah satu isu yang sering muncul di daerah adalah rasio kecukupan pegawai. Besarnya jumlah pegawai honorer berakibat pada tidak seimbangnya perbandingan jumlah pegawai dengan volume kerja yang dimiliki. BKD harus berani untuk membuat langkah terobosan dengan membuat penelitian tentang volume kerja yang dimiliki oleh pegawai di daerah. Setelah data diperoleh, pegawai yang kurang produktif diberi pelatihan pada bidang baru yang memang dibutuhkan oleh Daerah sehingga mengurangi resiko pembengkakan jumlah pegawai.
Tindakan strategis yang dilakukan BKD memudahkan pemerintah daerah, khususnya kepala daerah, dalam menyusun dan menguraikan program-program kerjanya karena dilakukan oleh pegawai yang sesuai dengan bidang keahliannya. Di samping itu, BKD harus mampu secara proaktif melakukan proyeksi atas trend manajemen sumber daya manusia di daerahnya.
Kapabilitas DPRD di Daerah
Wilayah kerja DPRD adalah politik sehingga yang terjadi adalah siapapun yang mampu dan bisa untuk melakukan kerja politik dapat menjadi anggota. Artinya latar belakang pendidikan tidak terlalu banyak mempengaruhi seseorang memperoleh kursi di DPRD. Namun yang perlu dikritisi adalah sejauhmana kerja-kerja politik tersebut bersentuhan dengan wilayah lain seperti; pendidikan, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya.
Kerja politik yang dilakukan oleh DPRD adalah proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan ini berhubungan dengan wilayah pendidikan, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan demikian kerja politik yang dilakukan bersentuhan dengan wilayah lain bahkan menjadi aspek sentral dalam pembuatan kebijakan di daerah.
Pemerintah daerah adalah penerima urusan dari pemerintah pusat. Selanjutnya berdasarkan urusan yang menjadi tanggung jawabnya, pemerintah daerah membuat rencana sektoral yang kemudian tertuang dalam Kebijakan Umum Daerah. Kebijakan umum diajukan kepada DPRD untuk pengesahan menjadi APBD. Panitia Anggaran mempelajari rencana anggaran yang diajukan pemerintah dan dengan pemerintah kemudian bernegosiasi tentang kelayakan program, kesesuaian pembiayaan dan sumber anggaran yang digunakan.
Setelah kesepakatan tercapai maka DPRD menetapkam Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD.
Mekanisme yang dijalankan sangat jelas dan mulus tapi bagaimanakah kualitas program yang ada dalam APBD. Pemda sebagai pihak yang mengajukan rencana anggaran pasti sangat siap dengan informasi maupun data pendukung sedangkan DPRD sebagai pihak yang memberikan persetujuan apakah memiliki kesiapan yang sama. Pada tingkat ini baik pemerintah maupun DPRD harus memiliki keseimbangan sehingga kualitas program yang dihasilkan baik sehingga adalah naïf apabila kemudian mengklaim bahwa wilayah DPRD adalah wilayah politik murni. Setiap anggota harus membekali diri dengan keahlian yang menjadi tanggung jawabnya selama menjadi perwakilan rakyat.
Istilah fast learner sangat menarik untuk dibahas tapi kualitas latar belakang pendidikan menjadi sangat berpengaruh terhadap keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Perbedaan entry point mempengaruhi kualitas kebijakan yang dihasilkan. Ide untuk menyediakan staf ahli di lingkungan DPRD merupakan jalan untuk memberdayakan DPRD dan mampu mengimbangi pemerintah daerah. Namun kunci sentral adalah bagaimana setiap anggota mampu untuk dapat memberdayakan diri secara mandiri dan mau untuk terus belajar sehingga tidak ada kendala ketika menghadapi rencana anggaran pemerintah daerah serta dapat dengan cepat memahami ‘bahasa’ anggaran.
Daftar Pustaka
Anonim, 1999, Undang-Undang no 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Anonim, 2004, Undang-Undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Anonim, 2004, UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
serta mahasiswa FHUKUM Univ. Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar